Fenomena Baper di Era Digital: Antara Faktor Psikologis, Pola Asuh, dan Pengaruh Media Sosial

Fenomena Baper

DISINIAJA.CO – Istilah baper atau bawa perasaan telah menjadi bagian dari bahasa gaul sehari-hari di Indonesia.

Meski sering digunakan sebagai candaan untuk menyebut seseorang yang mudah tersinggung, fenomena ini memiliki akar yang lebih dalam, melibatkan faktor psikologis, pengalaman masa lalu, pola asuh, hingga pengaruh budaya dan media sosial.

Psikolog Hernita Wijayaratna, M.Psi., menjelaskan bahwa sifat mudah tersinggung tidak muncul begitu saja.

“Banyak faktor ya sebenarnya. Misalnya memang punya kepekaan yang tinggi, pengalaman masa lalu yang negatif, atau kurangnya keterampilan sosial sejak kecil,” ujarnya dalam talkshow kesehatan Kementerian Kesehatan secara virtual, Jumat (15/10/2025).

Dalam psikologi, baper sering berkaitan dengan emosi negatif seperti marah, sedih, atau bingung.

Reaksi berlebihan biasanya terjadi pada individu dengan tingkat “cedera emosional” rendah, di mana stimulus kecil dapat memicu respons besar.

Misalnya, komentar netral bisa ditanggapi santai oleh sebagian orang, namun bagi yang sensitif dapat memicu kemarahan atau ketersinggungan.

Media sosial turut memperkuat fenomena ini. Interaksi tanpa konsekuensi langsung, keterbatasan bahasa tulisan dalam menyampaikan emosi, hingga kesalahan interpretasi tanda baca atau nada sarkas sering menjadi pemicu.

Minimnya empati memperburuk situasi, membuat orang lebih mudah tersinggung sekaligus melukai perasaan orang lain tanpa disadari.

Budaya komunikasi juga berperan. Di lingkungan yang jarang terbuka, komentar langsung kerap dianggap kasar meskipun bertujuan baik.

Hal ini membuat hubungan, baik di dunia nyata maupun digital, menjadi rentan gesekan.

Hernita menekankan bahwa mengelola emosi bukan berarti menekan perasaan, melainkan mengenali, memahami, dan menyalurkannya secara tepat.

Memahami bahwa tidak semua komentar bertujuan merendahkan serta berpikir sebelum berkomentar dapat membantu menciptakan komunikasi yang lebih sehat.

Fenomena baper mungkin terdengar sepele, namun jika dibiarkan, dapat merusak hubungan, menurunkan rasa percaya diri, hingga memicu konflik.

Di era media sosial yang serba cepat, keterampilan mengelola emosi dan berkomunikasi dengan empati bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan.

Share this post :

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Related Post